03 November 2010

Wacana Ilmiah

Yang termasuk dalam wacana ilmiah adalah karya tulis, pra skripsi, skripsi, thesis dan disertasi. Berikut ini adalah contoh wacana pemanfaatan bahasa Indonesia pada tataran ilmiah.

Konflik Kehutanan

Pendahuluan

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Pada masa lalu, konflik kehutanan seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan. Apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, pada Era Reformasi keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, dari mulai tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan hutan.

Konflik kehutanan di Pulau Jawa didominasi oleh Perum Perhutani dengan masyarakat. Sementara di luar Jawa lebih banyak terjadi antara pemegang HPH dengan masyarakat dan pemerintah. Dua fenomena ini menarik untuk dikaji, sebagai bahan pengambilan kebijakan kehutanan dan penyelesaian konflik kehutanan.

Konflik kehutanan sebelum dan setelah reformasi

Berdasarkan hasil observasi berita artikel koran, frekuensi konflik kehutanan meningkat tajam setelah tumbangnya rezim orde baru dan munculnya Era Reformasi, terutama pada masa transisi (tahun 2000). Peristiwa konflik kehutanan pada tahun 2000 meningkat hampir sebelas kali lipat dibandingkan dengan tahun 1997. Frekuensi konflik pada tahun 2001 dan 2002 cenderung menurun, tetapi masih dua kali lebih banyak dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 1997 (lihat Gambar 1). Dari 359 peristiwa konflik yang tercatat pada tingkat nasional, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 27% di areal HPH.dan 34% di kawasan konservasi.

Hasil penelitian studi kasus lebih jauh menunjukkan bahwa setelah era Orde Baru, selain peningkatan jumlah dan frekuensi konflik, konflik yang terjadi cenderung disertai kekerasan. Kecenderungan ini antara lain disebabkan karena dampak reformasi terhadap perilaku masyarakat lokal. Reformasi telah membuat masyarakat sadar akan haknya, dan akhirnya berani menuntut untuk mendapatkan porsi manfaat yang wajar dari keberadaan hutan di wilayah mereka. Akibat tuntutan mereka kurang ditanggapi dengan baik dan ketidakpastian dalam penegakan hukum, keberanian masyarakat lokal akhirnya diekspresikan dalam bentuk perlawanan terbuka terhadap para pengelola hutan. Salah satu contohnya adalah aksi penjarahan besar-besaran terhadap kawasan hutan Perhutani di Randublatung yang dilakukan masyarakat desa di sekitar hutan-hutan.

(gambar 1)

Berdasarkan laporan dari media massa dan informasi di lapangan, faktor penyebab konflik kehutanan dapat dibagi ke dalam lima kategori utama, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan (lihat Gambar 2). Dari kelima kategori ini pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan paling sering dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal.

Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan. Dalam era desentralisasi, kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah seringkali bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

(gambar 2)

Penanganan konflik yang pernah dilakukan

Sejauh ini, dapat dikatakan belum ada upaya-upaya yang mengarah kepada penyelesaian konflik yang menyeluruh dalam jangka panjang. Penanganan konflik pada masa orde baru lebih sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan atau kekuatan militer dan melaksanakan program-program PMDH/Bina Desa. Setelah memasuki era desentralisasi, pembayaran kompensasi merupakan alternatif yang paling banyak dipilih oleh perusahaan-perusahaan kehutanan (HPH/HTI). Cara ini untuk sementara memang bisa merupakan penyelesaian konflik yang paling cepat dalam meredam kemarahan masyarakat, namun tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu hilangnya hak masyarakat secara utuh seperti kehilangan hak atas tanah adat, misalnya. Tidak terpenuhinya tuntutan pembayaran kompensasi dapat memicu konflik sampai ke tingkat kekerasan, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian materi yang lebih besar. Contoh kejadian seperti ini dialami oleh perusahaan HPH PT. Keang Nam di Sumatera Utara, yang berujung kepada pembakaran base-camp HPH tersebut oleh masyarakat di sekitarnya.

Sebelum Era Reformasi, penanganan konflik kehutanan yang melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan-perusahaan HPH/HTI pada umumnya diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak saja. Apabila konflik yang terjadi bukan merupakan kasus besar, maka perusahaan cenderung untuk menutupi kasus tersebut dari pihak-pihak lain, termasuk pemerintah.

Selama ini, perusahaan berpendapat bahwa keterlibatan pihak lain justru mengakibatkan biaya yang lebih besar dalam penyelesaian konflik. Jarang sekali pihak ketiga yang dapat dipercaya kedua belah pihak dilibatkan untuk menengahi konflik kehutanan. Setelah Era Reformasi, perusahaan-perusahaan ini ada yang semakin tertutup terhadap pihak luar, tetapi ada juga yang sudah mulai terbuka dan berusaha mencari pihak-pihak lain sebagai mediator.

Penanganan konflik-konflik yang terjadi di kawasan konservasi biasanya ditangani dengan lebih terbuka dan melibatkan lebih banyak pihak dibandingkan dengan konflik di areal HPH/HTI. Jalur hukum merupakan penyelesaian konflik kehutanan yang paling jarang ditempuh karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perangkat pengadilan.

Kesimpulan

Pada saat ini konflik kehutanan merupakan kenyataan yang perlu dihadapi dan diselesaikan. Kini sudah waktunya untuk memasukkan rencana pengelolaan konflik sebagai salah satu syarat yang diwajibkan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan konflik yang baik dapat menciptakan transparansi dan keadilan dalam menyelesaikan semua permasalahan, karena kepentingan semua pihak akan lebih diperhatikan. Dengan konsep ini diharapkan konflik kehutanan tidak meningkat menjadi tindakan kekerasan, bahkan dapat mendorong proses pembelajaran yang akan membuat pihak-pihak terkait menjadi lebih maju.

Upaya-upaya serius untuk menyelesaikan akar permasalahan konflik belum dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Pembayaran kompensasi hanya merupakan solusi jangka pendek. Penggunaan pihak ketiga sebagai mediator juga belum banyak dilakukan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlu dilakukannya upaya-upaya penanganan konflik yang lebih konkret dari semua pihak yang berkepentingan.

01 November 2010

Wacana Non Ilmiah

Yang termasuk dalam wacana non ilmiah adalah anekdot, dongeng, hikayat, cerpen, novel, roman, dan naskah drama. Berikut ini salah satu contoh cerpen.

Karang Retak

Langkah kakinya amat tergesa. Cewek hitam manis itu, kehilangan senyum hari ini. Teman-teman sekolah yang biasa kena cipratan senyum manisnya, kini hanya berdiri mematung, menunggu disenyumi, namun tak juga berani menagih saat tak satu pun di antara mereka yang menuai senyum siang ini.

"Ada apa dengan Andine, ya?"

"Tumben nggak senyum."

"Mungkin ada masalah. Tapi dia pasti bisa mengatasinya."

Semua hanya membatin. Tak ada yang merasa dicueki, meski sebelumnya mereka selalu kebagiaan senyum. Mereka bahkan ingin menahan langkah Andine, tapi mereka sadar jika itu tampaknya mengganggu. Mereka membiarkan Andine berlalu.
Andine, cewek hitam manis itu, memang sedang dalam masalah. Berduka tepatnya! Barusan dia terima sms, jika papa Nia, teman SMP-nya kemarin, baru saja meninggal. Nia sahabat terdekatnya sejak SD, baru berpisah setelah lulus di SMA yang berbeda, jadi wajarlah bila dia ikut kehilangan senyum.

Andine ingin menjadi orang yang pertama berada di sisi Nia, saat hati sahabatnya itu sedang lara. Berbagai rangkaian kalimat telah disusunnya, kelak setelah diucapkan pada Nia, akan lebih bermakna dan lebih indah dari sebuah rangkaian bunga ucapan belasungkawa.

Dia yakin, Nia sangat terpukul dengan kematian papanya yang begitu mendadak. Dua hari yang lalu, Nia meneleponnya kalau papanya masuk rumah sakit. Bahkan saat Andine mau datang membesuknya, Nia masih meyakinkan Andine kalau papanya hanya sakit ringan dan hanya butuh istirahat yang cukup. Tapi dugaan Nia meleset.

"Kamu tabah ya, Nia!"

Andine langsung membawa Nia ke dalam pelukannya.

"Aku tahu kamu sedih, aku juga tahu kamu sekarang rapuh menghadapi musibah, tapi kamu harus tegar, Nia! Jadikan musibah ini sebagai ujian. Dan kamu harus berhasil melaluinya!"

Andine mengeluarkan airmata saat mengucap kalimat itu, tapi dia tak menangis. Suaranya tak serak, terlebih tanpa isak. Di sela airmata itu, dia masih menyempatkan senyum.

"Memang berat, Nia. Tapi waktu akan meringankan beban itu. Kalau saat terpukul seperti ini kamu menyempatkan untuk senyum, besok saat pukulan itu melemah, kamu akan merasa diri sebagai pemenang. Jangan cengeng!" Nia menatapnya lemah. Dia belum juga bisa tersenyum. Dan senyum itu memang sepertinya mustahil. Nia anak bungsu, kakaknya cuma satu dan baru saja masuk kuliah di sebuah universitas swasta, fakultas Kedokteran lagi! Mau ambil uang di mana untuk menyambung hidup? Dari gaji pensiun peninggalan papanya? Itu semakin mustahil! Mama hanyalah istri kedua dari papanya.

Papanya belum mati saja, kakak-kakak tirinya sudah sering datang minta warisan.
Ya, kematian papanya bukan hanya membuatnya kehilangan tapi juga membawa masalah baru. Nia dan kakaknya, begitu pun dengan mamanya, dari dulu selalu menginginkan saudara tirinya bergabung dalam rumah. Mamanya berjanji akan menjadi pengganti ibu mereka yang telah meninggal, tapi semua menganggap kebaikan itu untuk cari muka.

Dan kematian papanya kini, tentulah menyisakan masalah yang rumit. Bukan tak mungkin Nia dan mamanya harus angkat kaki dari rumah, jika saudara tirinya menginginkan rumah yang memang sudah ada sebelum pernikahan papanya dengan mama Nia.

Seolah tahu apa yang ada di benak Nia, Andine semakin gencar berperibahasa. Dia tak mengerti jika Nia bersedih. Pelukannya yang tadi terlerai, diikatkannya lagi. Kali ini diiringi dengan gerakan menepuk bahu Nia.

"Aku yakin kamu selalu merasa nggak mungkin, merasa yakin nggak bisa menghadapi semua ini. Hanya persoalan waktu, Nia! Tuhan nggak hanya memberi kita waktu, tapi juga kesempatan untuk menemukan jawaban dari kesulitan yang kita hadapi. Kuncinya hanya satu, kesabaran!"

Nia menghela napas. Panjang. Berat. Di ujung hentakan napas berat itu, dia mencoba tersenyum, tapi bukannya merasa menang, malah menganggap dirinya munafik. Di balik dadanya ada yang terluka. Sakit. Bagaimana mungkin dia bisa tersenyum.
Tapi bukan berarti dia tak menghargai nasihat Andine. Dia mengerti, sahabatnya itu tak ingin dirinya tenggelam dalam sedih, atau malah terapung dan dipermainkan perasaan. Setidaknya, kehadiran Andine mampu mengurangi kesedihannya. "Terima kasih, Andine! Aku nggak bisa bayangin, gimana jika kamu nggak ada. Paling nggak, aku punya teman berbagi untuk saat ini."

Andine mengangguk. Merasa bangga karena kehadirannya berarti lagi bagi orang lain. Dan itulah yang selalu diinginkan Andine, berarti bagi orang lain! Jangan heran, di sekolah, meski dia baru kelas satu, boleh dibilang dia adalah ujung tombak di kepengurusan OSIS. Dia selalu punya ide brilian yang membuat orang berdecak kagum.

Di setiap perdebatan rapat, Andine selalu bisa jadi penengah yang tak berat sebelah, dan mampu memberi solusi terbaik. Jadi tak berlebihan jika teman-teman sekolahnya merasa diri diberi rahmat saat mendapatkan senyumnya. Senyum yang juga tak berat sebelah! Tarikan dua sudut bibirnya, terbagi untuk semua orang. Seolah bibir manis itu hanya ditakdirkan untuk senyum. Andine tak pernah mengeluh.

"Nia...," ucapnya lagi. "Kamu pasti susah untuk tersenyum. Tapi cobalah! Sekali saja. Sedetik saja. Entah tulus atau nggak, tapi coba rasakan, senyum itu akan sampai di hati."
Nia menurut. Andine tak mengada-ada. Senyum yang dipaksakannya itu, dirasakan mendarat sejenak di hatinya. Meski sejenak, tapi senyum itu seperti menitikkan embun segar di luka hatinya. Perih melayang sejenak. Senyum itu membuat Andine semakin merasa dirinya sangat berarti bagi Nia kali ini.

***

Hanya selang dua hari, Andine kembali membawa langkah tergesanya. Bedanya, langkah tergesanya kali ini, tidak disaksikan oleh teman-teman sekolahnya. Tak ada yang menunggu senyumnya yang kali ini kaku lagi. Pelajaran sedang berlangsung, saat kepala sekolah datang menemuinya di kelas dan memintanya segera pulang.
Apa kesalahan Andine pagi ini? Itu yang ada di benak teman kelasnya saat Andine disuruh pulang.

"Andine tidak punya salah. Bapak baru saja terima telepon di kantor, mama Andine meninggal!" jelas kepala sekolah setelah kepergian Andine.
Andine sendiri diberitahukan berita itu setelah diajak masuk kantor. Seperti papa Nia, mama Andine pun tak membawa firasat apa-apa sebelum kematiannya. Awalnya dia tak percaya, tapi HP-nya yang di-on-kan setelah off karena sedang belajar, berdering dan suara papanya yang serak memperdengarkan sendiri berita duka itu.

Sepanjang perjalanan pulang, dia masih bisa menyatukan, merekatkan bangunan-bangunan ketegarannya yang mendekati roboh. Tapi setelah tiba di rumah, dan mendapatkan mamanya terbujur kaku, Andine goyah. Menangis, teriak, histeris!
"Berat mata memandang, tak seberat bahu memikul," kata peribahasa.
Ya, kemarin Andine sedih melihat Nia dengan kematian papanya, dan meminta Nia untuk tersenyum. Tapi setelah bahunya sendiri yang memikul beban berat itu, dia tak bisa apa-apa!

Dia tak bisa membayangkan bagaimana suasana rumah tanpa mamanya. Bagaimana jika papanya kawin lagi? Di antara empat bersaudara, Andine yang sulung dan satu-satunya cewek. Itu berarti dia harus menggantikan posisi mamanya. Padahal selama ini, dia selalu terima beres dari mamanya. Untuk makan mi instan pun, mamanya yang turun tangan. Tangan kanan itu telah pergi. Andine terpukul!

Saat Nia datang menemuinya, dia tak kuasa menyembunyikan tangisnya. Sebenarnya dia merasa malu untuk menangis. Baru kemarin dia ceramah habis-habisan tapi setelah dirinya yang tertimpa musibah, dia lebih rapuh lagi.

Nia yang melihat kerapuhan itu, mencoba mendekat, memeluk tubuh Andine yang butuh penopang. Nia sebenarnya risih karena tak bisa memberi nasihat apalagi berperibahasa seperti halnya Andine. Tapi kebisuan Nia telah mengingatkan Andine pada seluruh nasihat yang pernah dituturkannya.

Tapi nasihat itu seolah tak bisa diberlakukan untuk dirinya. Dia menangis. Lebih dari tangis Nia kemarin. Terkadang, bahkan selalu, seseorang dapat menasihati orang lain tapi susah menasihati diri sendiri. Saat ini Andine sangat butuh nasihat dari orang lain, bukan dari dirinya, tapi tak satu pun yang bisa memberinya nasihat. Nia beranggapan, apa yang mendera Andine adalah luka sesaat, hanya butuh istirahat. Apalagi dia kenal Andine, kuat, tegar, kokoh, padahal karang pun suatu saat akan hancur karena badai.
Bukan hanya Nia, teman-teman sekolah Andine yang datang, tak banyak yang bisa menuturkan nasihat ataupun memberi semangat.

"Aku yakin kamu tegar!"

"Aku tahu kamu bisa melalui semua ini."

"Kamu nggak sampai terhempas, kan?"

"Aku tunggu senyummu besok!"

Rupanya mengeluh itu perlu, agar saat merasa kalah, orang lain mau memberi semangat. Selama ini Andine tak hanya dikenal lewat senyum dan nasihatnya, tapi juga dari sosoknya yang tak pernah mengeluh. Dia selalu merasa bisa mengatasi permasalahannya sendiri, tanpa butuh bantuan meskipun itu hanya berupa semangat. Tanpa disadarinya, orang sombong bukan hanya yang tak mau mengalah, tapi juga yang tak pernah mengeluh. Dia kalah kini. Terkapar. Tak ada yang melihatnya menggelepar. Semua menganggapnya tegar.


sumber : cafenovel.com

Wacana Semi Ilmiah

Yang termasuk dalam wacana semi ilmiah atau ilmiah populer adalah artikel, editorial, opini, feuture, reportase. Berikut ini salah satu contoh editorial.

Derita Mentawai

BENCANA alam melanda negeri ini tanpa jeda. Tangis dan air mata tak kunjung putus mengalir karena silih berganti datang tanah longsor, banjir, letusan gunung berapi, serta gempa bumi, dan tsunami.

Meski bumi Nusantara sudah akrab dengan bencana alam, pemerintah tetap saja gagap memberikan pertolongan kepada warga. Penanganan bencana yang terlambat adalah penyakit yang tak kunjung sembuh dari manajemen negara.

Ketidakberdayaan menjadi begitu mutlak dan kentara, padahal kewajiban pemerintah adalah melindungi setiap warga negara.

Gempa bumi yang disusul tsunami yang menerpa Kepulauan Mentawai pada 25 Oktober 2010 memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintah itu. Pemerintah tidak sigap, bahkan sangat tidak siap untuk mengatasi dampak bencana yang telah merenggut nyawa sekitar 500 orang dan menyebabkan puluhan ribu lainnya mengungsi.

Ketidaksigapan pemerintah sangat jelas terlihat dari penanganan korban hingga pada hari keenam, kemarin. Kondisi korban di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan masih sangat memprihatinkan. Belum ada penanganan yang efektif untuk mengatasi keadaan pascabencana.

Di lokasi penampungan di Pagai Selatan, misalnya, para korban terpaksa diletakkan di lantai yang hanya beralaskan tikar atau matras. Tidak hanya itu. Perbandingan jumlah relawan dan mayat yang bergelimpangan tak seimbang. Kondisi itu menyebabkan bau mayat menyengat di mana-mana dan penyebaran penyakit berpotensi meluas.

Selama ini seluruh bantuan untuk korban bencana tsunami Mentawai lebih dulu masuk ke Padang, ibu kota Sumatra Barat, lalu dikirimkan ke Sikakap, Kepulauan Mentawai. Skenarionya dari Sikakap itulah bantuan kemudian didistribusikan ke lokasi-lokasi bencana dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Akan tetapi, rencana itu tak bisa diwujudkan karena tingginya gelombang laut.

Pemerintah tentu saja berlindung di balik keganasan alam itu, sebagai penyebab buruknya penanganan akibat bencana. Seakan-akan Kepulauan Mentawai itu baru kemarin bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga pemerintah tidak tahu keganasan alam untuk mencapainya.

Alam yang tidak bersahabat di Kepulauan Mentawai bukan kali ini saja terjadi. Sangatlah ironis bahwa pemerintah tidak mengetahui secara persis kondisi alam setempat. Jangan-jangan kalau tidak ada bencana, tidak ada pejabat pemerintah yang mengunjungi daerah itu.

Harus jujur diakui bahwa pemerintah tidak mengerahkan segenap potensi yang dimiliki untuk membantu dan menyelamatkan warga. Apalagi, pemerintah sendiri terlambat mengetahui bahwa daerah itu telah diterjang tsunami.

Manajemen penanggulangan bencana masih berantakan dan kacau-balau.

Berantakan karena pemerintah tidak pernah mau belajar dari pengalaman.

Kacau-balau karena kehadiran pejabat di daerah bencana hanya mau mengumbar air mata demi meraih citra, bukan untuk memastikan seluruh bantuan terdistribusi dengan baik kepada korban.

Bertambah menyedihkan karena elite pemerintah di Kepulauan Mentawai lebih betah tinggal di Padang, bahkan di Jakarta, daripada mengurus nasib rakyat mereka.


sumber : Editorial Media Indonesia