19 November 2009

Kasus PT KAI

Menerapkan proses GCG (Good Corporate Governance) dalam suatu perusahaan bukan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Namun dari kasus-kasus yang terjadi di BUMN ataupun Perusahaan Publik dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa penerapan proses GCG belum dipahami dan diterapkan sepenuhnya.

Pembedahan kasus-kasus yang telah terjadi di perusahaan atas proses pengawasan yang efektif akan menjadi pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama.

Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas dalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya.

Kasus PT. KAI berawal dari perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Perbedaan tersebut bersumber pada perbedaan mengenai :

1. Masalah piutang PPN.

Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.

2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3. Masalah persediaan dalam perjalanan.

Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4. Masalah uang muka gaji.

Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.

5. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

BPYDBS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan. Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

Berikut ini beberapa solusi yang disarankan kepada PT KAI untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi :

* Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

* Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan.

* Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.

* Managemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.

* Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.



sumber : http://komiteaudit.org/


1 comment:

terima kasih informasinya
 

Posting Komentar