16 November 2009

Konflik Kehutanan

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Berdasarkan laporan dari media massa dan informasi di lapangan, faktor penyebab konflik kehutanan dapat dibagi ke dalam lima kategori utama, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan.

Dari kelima kategori tersebut pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan paling sering dikarenakan adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal.

Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan. Dalam era desentralisasi, kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah seringkali bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

Konflik kehutanan di Pulau Jawa didominasi oleh Perusahaan bidang kehutanan dengan masyarakat. Sementara di luar Jawa lebih banyak terjadi antara pemegang HPH dengan masyarakat dan pemerintah. Di luar Jawa, persoalan para pengusaha hutan yang nakal lebih mewarnai kasus-kasus kehutanan. Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Greenomics pada Agustus 2004 misalnya, menemukan bahwa praktek korupsi dan kolusi bisnis eksploitasi kayu di hutan diduga dilakukan hampir semua perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang berdampak pada kerugian negara dan kerusakan hutan. Beberapa latar belakang terjadinya konflik adalah :
  • Undang-Undang Agraria dan UU kehutanan tidak semuanya sinkron, bahkan dapat menjadi pemicu atau sumber konflik, karena sangat sarat dengan pemahaman dan penafsiran yang berbeda, tergantung kacamata kepentingan yang dipakai.
  • Tidak ada landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai batas-batas administrasi yang berhubungan dengan tanah hutan atau kawasan hutan dengan hak masyarakat adat.
  • Salah memahami makna hutan dan segala manfaat dan fungsi hutan.
  • Tidak banyak manfaat yang dinikmati masyarakat sekitar/ didalam hutan atas adanya kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) disatu sisi dan hilangnya akses/sumber kehidupan masyarakat akibat pemanfaatan hutan oleh pemerintah atau swasta disisi lain.
  • Sebagian besar masyarakat disekitar/di salam hutan, masih menggantungkan hidupnya dari hasil pemanfaatan hutan dan tumbuhan hutannya. Selain itu, pada umumnya sebagian besar dari masyarakat tersebut termasuk criteria miskin, baik miskin dari sudut pandang ekonomi, sosial (pendidikan, kesehatan dan miskin pemaknaan nasionalisme)
Bila di Jawa penebangan liar dilakukan oleh masyarakat dengan kapasitas yang terbatas, maka di luar Jawa pembalakan liar dilakukan oleh pengusaha HPH, dengan kapasitas yang jauh lebih besar. Namun dalam penanganan penebangan liar ini terjadi diskriminasi. Faktanya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta beberapa undang-undang lain seperti UU Keanekaragaman Hayati dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mampu menjerat orang-orang di level bawah atau lapangan (penebang, pengangkut, dan pengumpul), tidak sampai pemodal atau pihak tertentu yang punya andil cukup besar terhadap terjadinya illegal logging. Yang lebih memprihatinkan, banyak pelaku besar (cukong) hanya dikenai pelanggaran keimigrasian karena pada umumnya warga negara asing.

Upaya-upaya serius untuk menyelesaikan akar permasalahan konflik belum dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Pembayaran kompensasi hanya merupakan solusi jangka pendek. Kebijakan pemerintah yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggaran mengenai kehutanan belum berjalan maksimal. Selain itu penggunaan pihak ketiga sebagai mediator juga belum banyak dilakukan dan kebijakan pemerintah tentang kehutanan harus lebih dipertegas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perlu dilakukannya upaya-upaya penanganan konflik yang lebih konkret dari semua pihak yang berkepentingan.



0 comment:

Posting Komentar