Yang termasuk dalam wacana non ilmiah adalah anekdot, dongeng, hikayat, cerpen, novel, roman, dan naskah drama. Berikut ini salah satu contoh cerpen.
Karang Retak
Langkah kakinya amat tergesa. Cewek hitam manis itu, kehilangan senyum hari ini. Teman-teman sekolah yang biasa kena cipratan senyum manisnya, kini hanya berdiri mematung, menunggu disenyumi, namun tak juga berani menagih saat tak satu pun di antara mereka yang menuai senyum siang ini.
"Ada apa dengan Andine, ya?"
"Tumben nggak senyum."
"Mungkin ada masalah. Tapi dia pasti bisa mengatasinya."
Semua hanya membatin. Tak ada yang merasa dicueki, meski sebelumnya mereka selalu kebagiaan senyum. Mereka bahkan ingin menahan langkah Andine, tapi mereka sadar jika itu tampaknya mengganggu. Mereka membiarkan Andine berlalu.
Andine, cewek hitam manis itu, memang sedang dalam masalah. Berduka tepatnya! Barusan dia terima sms, jika papa Nia, teman SMP-nya kemarin, baru saja meninggal. Nia sahabat terdekatnya sejak SD, baru berpisah setelah lulus di SMA yang berbeda, jadi wajarlah bila dia ikut kehilangan senyum.
Andine ingin menjadi orang yang pertama berada di sisi Nia, saat hati sahabatnya itu sedang lara. Berbagai rangkaian kalimat telah disusunnya, kelak setelah diucapkan pada Nia, akan lebih bermakna dan lebih indah dari sebuah rangkaian bunga ucapan belasungkawa.
Dia yakin, Nia sangat terpukul dengan kematian papanya yang begitu mendadak. Dua hari yang lalu, Nia meneleponnya kalau papanya masuk rumah sakit. Bahkan saat Andine mau datang membesuknya, Nia masih meyakinkan Andine kalau papanya hanya sakit ringan dan hanya butuh istirahat yang cukup. Tapi dugaan Nia meleset.
"Kamu tabah ya, Nia!"
Andine langsung membawa Nia ke dalam pelukannya.
"Aku tahu kamu sedih, aku juga tahu kamu sekarang rapuh menghadapi musibah, tapi kamu harus tegar, Nia! Jadikan musibah ini sebagai ujian. Dan kamu harus berhasil melaluinya!"
Andine mengeluarkan airmata saat mengucap kalimat itu, tapi dia tak menangis. Suaranya tak serak, terlebih tanpa isak. Di sela airmata itu, dia masih menyempatkan senyum.
"Memang berat, Nia. Tapi waktu akan meringankan beban itu. Kalau saat terpukul seperti ini kamu menyempatkan untuk senyum, besok saat pukulan itu melemah, kamu akan merasa diri sebagai pemenang. Jangan cengeng!" Nia menatapnya lemah. Dia belum juga bisa tersenyum. Dan senyum itu memang sepertinya mustahil. Nia anak bungsu, kakaknya cuma satu dan baru saja masuk kuliah di sebuah universitas swasta, fakultas Kedokteran lagi! Mau ambil uang di mana untuk menyambung hidup? Dari gaji pensiun peninggalan papanya? Itu semakin mustahil! Mama hanyalah istri kedua dari papanya.
Papanya belum mati saja, kakak-kakak tirinya sudah sering datang minta warisan.
Ya, kematian papanya bukan hanya membuatnya kehilangan tapi juga membawa masalah baru. Nia dan kakaknya, begitu pun dengan mamanya, dari dulu selalu menginginkan saudara tirinya bergabung dalam rumah. Mamanya berjanji akan menjadi pengganti ibu mereka yang telah meninggal, tapi semua menganggap kebaikan itu untuk cari muka.
Dan kematian papanya kini, tentulah menyisakan masalah yang rumit. Bukan tak mungkin Nia dan mamanya harus angkat kaki dari rumah, jika saudara tirinya menginginkan rumah yang memang sudah ada sebelum pernikahan papanya dengan mama Nia.
Seolah tahu apa yang ada di benak Nia, Andine semakin gencar berperibahasa. Dia tak mengerti jika Nia bersedih. Pelukannya yang tadi terlerai, diikatkannya lagi. Kali ini diiringi dengan gerakan menepuk bahu Nia.
"Aku yakin kamu selalu merasa nggak mungkin, merasa yakin nggak bisa menghadapi semua ini. Hanya persoalan waktu, Nia! Tuhan nggak hanya memberi kita waktu, tapi juga kesempatan untuk menemukan jawaban dari kesulitan yang kita hadapi. Kuncinya hanya satu, kesabaran!"
Nia menghela napas. Panjang. Berat. Di ujung hentakan napas berat itu, dia mencoba tersenyum, tapi bukannya merasa menang, malah menganggap dirinya munafik. Di balik dadanya ada yang terluka. Sakit. Bagaimana mungkin dia bisa tersenyum.
Tapi bukan berarti dia tak menghargai nasihat Andine. Dia mengerti, sahabatnya itu tak ingin dirinya tenggelam dalam sedih, atau malah terapung dan dipermainkan perasaan. Setidaknya, kehadiran Andine mampu mengurangi kesedihannya. "Terima kasih, Andine! Aku nggak bisa bayangin, gimana jika kamu nggak ada. Paling nggak, aku punya teman berbagi untuk saat ini."
Andine mengangguk. Merasa bangga karena kehadirannya berarti lagi bagi orang lain. Dan itulah yang selalu diinginkan Andine, berarti bagi orang lain! Jangan heran, di sekolah, meski dia baru kelas satu, boleh dibilang dia adalah ujung tombak di kepengurusan OSIS. Dia selalu punya ide brilian yang membuat orang berdecak kagum.
Di setiap perdebatan rapat, Andine selalu bisa jadi penengah yang tak berat sebelah, dan mampu memberi solusi terbaik. Jadi tak berlebihan jika teman-teman sekolahnya merasa diri diberi rahmat saat mendapatkan senyumnya. Senyum yang juga tak berat sebelah! Tarikan dua sudut bibirnya, terbagi untuk semua orang. Seolah bibir manis itu hanya ditakdirkan untuk senyum. Andine tak pernah mengeluh.
"Nia...," ucapnya lagi. "Kamu pasti susah untuk tersenyum. Tapi cobalah! Sekali saja. Sedetik saja. Entah tulus atau nggak, tapi coba rasakan, senyum itu akan sampai di hati."
Nia menurut. Andine tak mengada-ada. Senyum yang dipaksakannya itu, dirasakan mendarat sejenak di hatinya. Meski sejenak, tapi senyum itu seperti menitikkan embun segar di luka hatinya. Perih melayang sejenak. Senyum itu membuat Andine semakin merasa dirinya sangat berarti bagi Nia kali ini.
***
Hanya selang dua hari, Andine kembali membawa langkah tergesanya. Bedanya, langkah tergesanya kali ini, tidak disaksikan oleh teman-teman sekolahnya. Tak ada yang menunggu senyumnya yang kali ini kaku lagi. Pelajaran sedang berlangsung, saat kepala sekolah datang menemuinya di kelas dan memintanya segera pulang.
Apa kesalahan Andine pagi ini? Itu yang ada di benak teman kelasnya saat Andine disuruh pulang.
"Andine tidak punya salah. Bapak baru saja terima telepon di kantor, mama Andine meninggal!" jelas kepala sekolah setelah kepergian Andine.
Andine sendiri diberitahukan berita itu setelah diajak masuk kantor. Seperti papa Nia, mama Andine pun tak membawa firasat apa-apa sebelum kematiannya. Awalnya dia tak percaya, tapi HP-nya yang di-on-kan setelah off karena sedang belajar, berdering dan suara papanya yang serak memperdengarkan sendiri berita duka itu.
Sepanjang perjalanan pulang, dia masih bisa menyatukan, merekatkan bangunan-bangunan ketegarannya yang mendekati roboh. Tapi setelah tiba di rumah, dan mendapatkan mamanya terbujur kaku, Andine goyah. Menangis, teriak, histeris!
"Berat mata memandang, tak seberat bahu memikul," kata peribahasa.
Ya, kemarin Andine sedih melihat Nia dengan kematian papanya, dan meminta Nia untuk tersenyum. Tapi setelah bahunya sendiri yang memikul beban berat itu, dia tak bisa apa-apa!
Dia tak bisa membayangkan bagaimana suasana rumah tanpa mamanya. Bagaimana jika papanya kawin lagi? Di antara empat bersaudara, Andine yang sulung dan satu-satunya cewek. Itu berarti dia harus menggantikan posisi mamanya. Padahal selama ini, dia selalu terima beres dari mamanya. Untuk makan mi instan pun, mamanya yang turun tangan. Tangan kanan itu telah pergi. Andine terpukul!
Saat Nia datang menemuinya, dia tak kuasa menyembunyikan tangisnya. Sebenarnya dia merasa malu untuk menangis. Baru kemarin dia ceramah habis-habisan tapi setelah dirinya yang tertimpa musibah, dia lebih rapuh lagi.
Nia yang melihat kerapuhan itu, mencoba mendekat, memeluk tubuh Andine yang butuh penopang. Nia sebenarnya risih karena tak bisa memberi nasihat apalagi berperibahasa seperti halnya Andine. Tapi kebisuan Nia telah mengingatkan Andine pada seluruh nasihat yang pernah dituturkannya.
Tapi nasihat itu seolah tak bisa diberlakukan untuk dirinya. Dia menangis. Lebih dari tangis Nia kemarin. Terkadang, bahkan selalu, seseorang dapat menasihati orang lain tapi susah menasihati diri sendiri. Saat ini Andine sangat butuh nasihat dari orang lain, bukan dari dirinya, tapi tak satu pun yang bisa memberinya nasihat. Nia beranggapan, apa yang mendera Andine adalah luka sesaat, hanya butuh istirahat. Apalagi dia kenal Andine, kuat, tegar, kokoh, padahal karang pun suatu saat akan hancur karena badai.
Bukan hanya Nia, teman-teman sekolah Andine yang datang, tak banyak yang bisa menuturkan nasihat ataupun memberi semangat.
"Aku yakin kamu tegar!"
"Aku tahu kamu bisa melalui semua ini."
"Kamu nggak sampai terhempas, kan?"
"Aku tunggu senyummu besok!"
Rupanya mengeluh itu perlu, agar saat merasa kalah, orang lain mau memberi semangat. Selama ini Andine tak hanya dikenal lewat senyum dan nasihatnya, tapi juga dari sosoknya yang tak pernah mengeluh. Dia selalu merasa bisa mengatasi permasalahannya sendiri, tanpa butuh bantuan meskipun itu hanya berupa semangat. Tanpa disadarinya, orang sombong bukan hanya yang tak mau mengalah, tapi juga yang tak pernah mengeluh. Dia kalah kini. Terkapar. Tak ada yang melihatnya menggelepar. Semua menganggapnya tegar.
sumber : cafenovel.com